Sabtu, 16 Mei 2009

FENOMENA PENYAKIT KRONIS PADA LANSIA

Penyakit Kronis Pada Lansia
Penyakit kronis Merupakan penyakit yang sudah berlangsung lama dan bisa menyebabkan kematian. Pada umumnya perjalanan penyakit lansia adalah kronik (menahun), diselingi dengan eksaserbasi akut. Selain itu penyakitnya bersifat progresif dan sering menyebabkan kecacatan (invalide) yang lama sebelum akhirnya penderita meninggal dunia. Penyakit yang progresif ini berbeda dengan penyakit pada usia remaja/dewasa yaitu tidak memberikan proteksi atau imunitas tetapi justru menjadikan orang lansia rentan terhadap penyakit lain karena daya tahan tubuh yang makin menurun.
Sifat penyakit pada orang lansia perlu sekali untuk dikenali supaya kita tidak salah ataupun terlambat menegakkan diagnosis, sehingga terapi dan tindakan lain yang mengikutinya dengan segera dapat dilaksanakan. Sebab penyakit pada orang–orang lansia umumnya lebih bersifat endogen daripada eksogen. Hal ini kemungkinan disebabkan karena menurunnya fungsi berbagai alat tubuh karena proses menjadi tua. Selain itu produksi zat–zat untuk daya tahan tubuh akan mengalami kemunduran. Oleh karena itu faktor penyebab eksogen (infeksi) akan lebih mudah hinggap. Seringkali juga terjadi penyebab penyakit pada lansia tersembunyi (occult), sehingga perlu dicari secara sadar dan aktif. Keluhan–keluhan pasien lansia sering tidak khas, tidak jelas, atipik dan asimptomatik. Oleh karena sifat–sifat atipik, asimptomatik atau tidak khas tadi, akan mengakibatkan variasi individual munculnya gejala dan tanda–tanda penyakit meskipun macam penyakitnya sama (pikiran-rakyat.com)
Fenomena Penyakit Kronis Pada Lansia
Salah satu penyakit kronis yang sering diderita oleh lansia yaitu Diabetes melitus. Diabetes Melitus ( DM ) adalah penyakit metabolik yang kebanyakan herediter, dengan tanda – tanda hiperglikemia dan glukosuria, disertai dengan atau tidak adanya gejala klinik akut ataupun kronik, sebagai akibat dari kuranganya insulin efektif di dalam tubuh, gangguan primer terletak pada metabolisme karbohidrat yang biasanya disertai juga gangguan metabolisme lemak dan protein. ( Askandar, 2000).
Prevalensi Diabetes Melitus pada lansia meningkat secara signifikan setelah usia >45 tahun. Pada tahun 2006, proporsi penduduk di Indonesia yang berumur 50 tahun keatas sebesar 17 juta dan pada tahun 2025 diperkirakan mencapai 33 juta orang (Tahir 2007). Selanjutnya tahir mengatakan Peningkatan jumlah penduduk berumur tua cenderung akan meningkatkan fenomena disabilitas yang secara normal bersifat gradual yang akan nyata dalam melakukan aktivitas perawatan diri.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tahir pada subjek penelitian adalah lanjut usia yang berumur 50 tahun keatas berjumlah 12.459 jiwa. Pengumpulan data menggunakan instrumen berupa kuesioner SAGE-WHO dan INDEPTH oleh 63 petugas wawancara dengan 7 pengawas lapangan. Analisis data menggunakan regresi logistik multinomial memperoleh hasil Prevalensi gangguan perawatan diri sebesar 28,2%, disabilitas pergerakan 47,77%, disabilitas penglihatan 64,12% dan disabilitas daya ingat 66,71%. Risiko terbesar terhadap gangguan perawatan diri pada kategori berat yaitu disabilitas pergerakan pada laki-laki (OR=10,93; 95%CI= 8,85 -13,50) dan perempuan (OR=19,75 ;95%CI=14,38-27,13), disabilitas penglihatan pada laki-laki (OR=3,24; 95%CI= 2,31-4,55) dan perempuan (OR=4,72; 95%CI=3,52-6,33), disabilitas daya ingat pada lakilaki (OR=5,96; 95%CI=4,10-8,67) dan perempuan (OR=6,33; 95%CI=4,53-8,86).
Pendekatan Self Care (Teori Orem) Berdasarkan Fenomena Penyakit Kronis Pada Lansia
Penanganan terhadap penyakit diabetes melitus yang meliputi diet yang tepat, olahraga rutin, minum obat secara teratur dan teratur periksa kadar gula darah merupakan hal yang penting untuk dilakukan oleh penderita diabetes melitus.
Menurut Orem asuhan keperawatan dilakukan dengan keyakinan bahwa setiap orang mempelajari kemampuan untuk merawat diri sendiri sehingga membantu individu memenuhi kebutuhan hidup, memelihara kesehatan dan kesejahteraan. Teori ini dikenal dengan teori self care (perawatan diri).
Klien dewasa dengan Diabetes Melitus menurut teori self-care Orem dipandang sebagai individu yang memiliki kemampuan untuk merawat dirinya sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidup, memelihara kesehatan dan mencapai kesejahteraan. Ketidakseimbangan baik secara fisik maupun mental yang dialami oleh klien dengan DM menurut Orem disebut dengan self-care deficit. Menurut Orem peran perawat dalam hal ini yaitu mengkaji klien sejauh mana klien mampu untuk merawat dirinya sendiri dan mengklasifikasikannya sesuai dengan klasifikasi kemampuan klien yang telah kami sebutkan sebelumnya.
Setelah mengkaji dan mendapatkan informasi yang lengkap barulah perawat mulai bekerja untuk mengembalikan kemampuan self-care klien secara optimal sesuai dengan kondisi aktual klien yang berhubungan dengan Diabetes Mellitus yang diderita oleh klien.
Klien dewasa dengan Diabetes Mellitus dapat mencapai sejahtera / kesehatan yang optimal dengan mengetahui perawatan yang tepat sesuai dengan kondisi dirinya sendiri. Oleh karena itu, perawat menurut teori self-care berperan sebagai pendukung/pendidik bagi klien dewasa dengan Diabetes Mellitus terkontrol untuk tetap mempertahankan kemampuan optimalnya dalam mencapai sejahtera.
Kondisi klien yang dapat mempengaruhi self-care dapat berasal dari faktor internal dan eksternal, faktor internal meliputi usia, tinggi badan, berat badan, budaya/suku, status perkawinan, agama, pendidikan, dan pekerjaan. Adapun faktor luar meliputi dukungan keluarga dan budaya masyarakat dimana klien tinggal.
Klien dengan kondisi tersebut membutuhkan perawatan diri yang bersifat kontinum atau berkelanjutan. Adanya perawatan diri yang baik akan mencapai kondisi yang sejahtera, klien membutuhkan 3 kebutuhan selfcare berdasarkan teori Orem yaitu:
Universal self care requisites (kebutuhan perawatan diri universal), kebutuhan yang umumnya dibutuhkan oleh klien selama siklus hidupnya dalam mempertahankan kondisi yang seimbang/homeostasis yang meliputi kebutuhan udara, air, makanan, eliminasi, istirahat, dan interaksi sosial serta menghadapi resiko yang mengancam kehidupan. Pada klien DM, kebutuhan tersebut mengalami perubahan yang dapat diminimalkan dengan melakukan selfcare antara lain melakukan latihan/olahraga, diet yang sesuai, dan pemantauan kadar glukosa darah.
Development self care requisites (kebutuhan perawatan diri pengembangan), klien dengan DM mengalami perubahan fungsi perkembangan yang berkaitan dengan fungsi perannya. Perubahan fisik pada klien dengan DM antara lain, menimbulkan peningkatan dalam berkemih, rasa haus, selera makan, keletihan, kelemahan, luka pada kulit yang lama penyembuhannya, infeksi vagina, atau pandangan yang kabur (jika kadar glukosanya tinggi).
Health deviation self care requisites (kebutuhan perawatan diri penyimpangan kesehatan), kebutuhan yang berkaitan dengan adanya penyimpangan kesehatan seperti adanya sindrom hiperglikemik yang dapat menimbulkan kehilangan cairan dan elektrolit (dehidrasi), hipotensi, perubahan sensori, kejang-kejang, takikardi, dan hemiparesis. Pada klien dengan DM terjadi ketidakseimbangan antara kebutuhan yang harus dipenuhi dengan kemampuan yang dimiliki. Klien DM akan mengalami penurunan pola makan dan adanya komplikasi yang dapat mengurangi keharmonisan pasangan (missal infeksi vagina dan bagian tubuh lainnya).
Tujuan untuk memenuhi kebutuhan self care dapat dicapai dengan :
1. Menurunkan kebutuhan self care
2. Meningkatkan kemampuan pasien
3. Memperbolehkan keluarga atau orang lain untuk memberikan dependent care
4. Bila semua yang di atas tidak bias di laksanakan maka perawat akan melaksanakannya.
Lima metode bantuan untuk memenuhi kebutuhan self care:
1. Berperan melakukan
2. Mengajak atau menyuluh
3. Membimbing
4. Mendukung
5. Menciptakn lingkungan yang dapat menunjang tunjangan untuk dapat melaksanakan bantuan kepada orang sakit dan aspek yang perlu di perhatikan:
Menjalin hubungan yang baik dengan pasien, keluaraga sampai pasien dapat melepaskan diri atau melaksanakan sendiri
Menentukan bantuan yang di butuhkan pasien dalam memenuhi kebutuhan
Memberikan bantuan langsung bersama pasien atau keluarga, orang lain yang akan melakukan asuhan sesuai kebutuhan pasien
Merencanakan bantuan langsung bersama pasien, keluarga atau orang lain yang akan melakukan asuhan.
Agar lansia dapat mandiri tanpa bantuan orang lain perlu motivasi dari perawat dan keluarga pada klien Lansia supaya klien bisa melakukannya sendiri sebab kenyataan yang ada dilapangan kebanyakan klien bisa melakukannya sendiri. Dan perlu adanya penyuluhan dan pelatihan tentang program aktivitas lansia.
Referensi:
Anonim, 2006, Terapi pada Usia Lanjut (Geriatri), http://pojokapoteker.blogspot.com/2008/12/terapi-pada-usia-lanjut-geriatri.html,diakses 14 Maret 2009
Anonim, 2004, Bagi Kaum Lansia Obat tidak Selalu Menjadi Sahabat http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0804/01/index.htm.. Diakses tanggal 14 Maret 2009
Darmojo-Boedi, Martono Hadi (editor). 2006. Buku Ajar Geriatri. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran UI. Jakarta
Darmansjah, Iwan, Prof. 1994. Jurnal Ilmiah : Polifarmasi pada Usia Lanjut. Diakses tanggal 14 Maret 2009
Potter, Patricia. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses, dan Praktek/Patricia A. Potter, Anne Griffin Perry; Alih Bahasa, Yasmin Asih et al. Editor edisi Bahasa indonesia, Devi Yulianti, Monica Ester. – Ed.4. – Jakarta ; EGC, 2005

Tidak ada komentar: