Sabtu, 16 Mei 2009

FENOMENA PENYAKIT KRONIS PADA LANSIA

Penyakit Kronis Pada Lansia
Penyakit kronis Merupakan penyakit yang sudah berlangsung lama dan bisa menyebabkan kematian. Pada umumnya perjalanan penyakit lansia adalah kronik (menahun), diselingi dengan eksaserbasi akut. Selain itu penyakitnya bersifat progresif dan sering menyebabkan kecacatan (invalide) yang lama sebelum akhirnya penderita meninggal dunia. Penyakit yang progresif ini berbeda dengan penyakit pada usia remaja/dewasa yaitu tidak memberikan proteksi atau imunitas tetapi justru menjadikan orang lansia rentan terhadap penyakit lain karena daya tahan tubuh yang makin menurun.
Sifat penyakit pada orang lansia perlu sekali untuk dikenali supaya kita tidak salah ataupun terlambat menegakkan diagnosis, sehingga terapi dan tindakan lain yang mengikutinya dengan segera dapat dilaksanakan. Sebab penyakit pada orang–orang lansia umumnya lebih bersifat endogen daripada eksogen. Hal ini kemungkinan disebabkan karena menurunnya fungsi berbagai alat tubuh karena proses menjadi tua. Selain itu produksi zat–zat untuk daya tahan tubuh akan mengalami kemunduran. Oleh karena itu faktor penyebab eksogen (infeksi) akan lebih mudah hinggap. Seringkali juga terjadi penyebab penyakit pada lansia tersembunyi (occult), sehingga perlu dicari secara sadar dan aktif. Keluhan–keluhan pasien lansia sering tidak khas, tidak jelas, atipik dan asimptomatik. Oleh karena sifat–sifat atipik, asimptomatik atau tidak khas tadi, akan mengakibatkan variasi individual munculnya gejala dan tanda–tanda penyakit meskipun macam penyakitnya sama (pikiran-rakyat.com)
Fenomena Penyakit Kronis Pada Lansia
Salah satu penyakit kronis yang sering diderita oleh lansia yaitu Diabetes melitus. Diabetes Melitus ( DM ) adalah penyakit metabolik yang kebanyakan herediter, dengan tanda – tanda hiperglikemia dan glukosuria, disertai dengan atau tidak adanya gejala klinik akut ataupun kronik, sebagai akibat dari kuranganya insulin efektif di dalam tubuh, gangguan primer terletak pada metabolisme karbohidrat yang biasanya disertai juga gangguan metabolisme lemak dan protein. ( Askandar, 2000).
Prevalensi Diabetes Melitus pada lansia meningkat secara signifikan setelah usia >45 tahun. Pada tahun 2006, proporsi penduduk di Indonesia yang berumur 50 tahun keatas sebesar 17 juta dan pada tahun 2025 diperkirakan mencapai 33 juta orang (Tahir 2007). Selanjutnya tahir mengatakan Peningkatan jumlah penduduk berumur tua cenderung akan meningkatkan fenomena disabilitas yang secara normal bersifat gradual yang akan nyata dalam melakukan aktivitas perawatan diri.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tahir pada subjek penelitian adalah lanjut usia yang berumur 50 tahun keatas berjumlah 12.459 jiwa. Pengumpulan data menggunakan instrumen berupa kuesioner SAGE-WHO dan INDEPTH oleh 63 petugas wawancara dengan 7 pengawas lapangan. Analisis data menggunakan regresi logistik multinomial memperoleh hasil Prevalensi gangguan perawatan diri sebesar 28,2%, disabilitas pergerakan 47,77%, disabilitas penglihatan 64,12% dan disabilitas daya ingat 66,71%. Risiko terbesar terhadap gangguan perawatan diri pada kategori berat yaitu disabilitas pergerakan pada laki-laki (OR=10,93; 95%CI= 8,85 -13,50) dan perempuan (OR=19,75 ;95%CI=14,38-27,13), disabilitas penglihatan pada laki-laki (OR=3,24; 95%CI= 2,31-4,55) dan perempuan (OR=4,72; 95%CI=3,52-6,33), disabilitas daya ingat pada lakilaki (OR=5,96; 95%CI=4,10-8,67) dan perempuan (OR=6,33; 95%CI=4,53-8,86).
Pendekatan Self Care (Teori Orem) Berdasarkan Fenomena Penyakit Kronis Pada Lansia
Penanganan terhadap penyakit diabetes melitus yang meliputi diet yang tepat, olahraga rutin, minum obat secara teratur dan teratur periksa kadar gula darah merupakan hal yang penting untuk dilakukan oleh penderita diabetes melitus.
Menurut Orem asuhan keperawatan dilakukan dengan keyakinan bahwa setiap orang mempelajari kemampuan untuk merawat diri sendiri sehingga membantu individu memenuhi kebutuhan hidup, memelihara kesehatan dan kesejahteraan. Teori ini dikenal dengan teori self care (perawatan diri).
Klien dewasa dengan Diabetes Melitus menurut teori self-care Orem dipandang sebagai individu yang memiliki kemampuan untuk merawat dirinya sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidup, memelihara kesehatan dan mencapai kesejahteraan. Ketidakseimbangan baik secara fisik maupun mental yang dialami oleh klien dengan DM menurut Orem disebut dengan self-care deficit. Menurut Orem peran perawat dalam hal ini yaitu mengkaji klien sejauh mana klien mampu untuk merawat dirinya sendiri dan mengklasifikasikannya sesuai dengan klasifikasi kemampuan klien yang telah kami sebutkan sebelumnya.
Setelah mengkaji dan mendapatkan informasi yang lengkap barulah perawat mulai bekerja untuk mengembalikan kemampuan self-care klien secara optimal sesuai dengan kondisi aktual klien yang berhubungan dengan Diabetes Mellitus yang diderita oleh klien.
Klien dewasa dengan Diabetes Mellitus dapat mencapai sejahtera / kesehatan yang optimal dengan mengetahui perawatan yang tepat sesuai dengan kondisi dirinya sendiri. Oleh karena itu, perawat menurut teori self-care berperan sebagai pendukung/pendidik bagi klien dewasa dengan Diabetes Mellitus terkontrol untuk tetap mempertahankan kemampuan optimalnya dalam mencapai sejahtera.
Kondisi klien yang dapat mempengaruhi self-care dapat berasal dari faktor internal dan eksternal, faktor internal meliputi usia, tinggi badan, berat badan, budaya/suku, status perkawinan, agama, pendidikan, dan pekerjaan. Adapun faktor luar meliputi dukungan keluarga dan budaya masyarakat dimana klien tinggal.
Klien dengan kondisi tersebut membutuhkan perawatan diri yang bersifat kontinum atau berkelanjutan. Adanya perawatan diri yang baik akan mencapai kondisi yang sejahtera, klien membutuhkan 3 kebutuhan selfcare berdasarkan teori Orem yaitu:
Universal self care requisites (kebutuhan perawatan diri universal), kebutuhan yang umumnya dibutuhkan oleh klien selama siklus hidupnya dalam mempertahankan kondisi yang seimbang/homeostasis yang meliputi kebutuhan udara, air, makanan, eliminasi, istirahat, dan interaksi sosial serta menghadapi resiko yang mengancam kehidupan. Pada klien DM, kebutuhan tersebut mengalami perubahan yang dapat diminimalkan dengan melakukan selfcare antara lain melakukan latihan/olahraga, diet yang sesuai, dan pemantauan kadar glukosa darah.
Development self care requisites (kebutuhan perawatan diri pengembangan), klien dengan DM mengalami perubahan fungsi perkembangan yang berkaitan dengan fungsi perannya. Perubahan fisik pada klien dengan DM antara lain, menimbulkan peningkatan dalam berkemih, rasa haus, selera makan, keletihan, kelemahan, luka pada kulit yang lama penyembuhannya, infeksi vagina, atau pandangan yang kabur (jika kadar glukosanya tinggi).
Health deviation self care requisites (kebutuhan perawatan diri penyimpangan kesehatan), kebutuhan yang berkaitan dengan adanya penyimpangan kesehatan seperti adanya sindrom hiperglikemik yang dapat menimbulkan kehilangan cairan dan elektrolit (dehidrasi), hipotensi, perubahan sensori, kejang-kejang, takikardi, dan hemiparesis. Pada klien dengan DM terjadi ketidakseimbangan antara kebutuhan yang harus dipenuhi dengan kemampuan yang dimiliki. Klien DM akan mengalami penurunan pola makan dan adanya komplikasi yang dapat mengurangi keharmonisan pasangan (missal infeksi vagina dan bagian tubuh lainnya).
Tujuan untuk memenuhi kebutuhan self care dapat dicapai dengan :
1. Menurunkan kebutuhan self care
2. Meningkatkan kemampuan pasien
3. Memperbolehkan keluarga atau orang lain untuk memberikan dependent care
4. Bila semua yang di atas tidak bias di laksanakan maka perawat akan melaksanakannya.
Lima metode bantuan untuk memenuhi kebutuhan self care:
1. Berperan melakukan
2. Mengajak atau menyuluh
3. Membimbing
4. Mendukung
5. Menciptakn lingkungan yang dapat menunjang tunjangan untuk dapat melaksanakan bantuan kepada orang sakit dan aspek yang perlu di perhatikan:
Menjalin hubungan yang baik dengan pasien, keluaraga sampai pasien dapat melepaskan diri atau melaksanakan sendiri
Menentukan bantuan yang di butuhkan pasien dalam memenuhi kebutuhan
Memberikan bantuan langsung bersama pasien atau keluarga, orang lain yang akan melakukan asuhan sesuai kebutuhan pasien
Merencanakan bantuan langsung bersama pasien, keluarga atau orang lain yang akan melakukan asuhan.
Agar lansia dapat mandiri tanpa bantuan orang lain perlu motivasi dari perawat dan keluarga pada klien Lansia supaya klien bisa melakukannya sendiri sebab kenyataan yang ada dilapangan kebanyakan klien bisa melakukannya sendiri. Dan perlu adanya penyuluhan dan pelatihan tentang program aktivitas lansia.
Referensi:
Anonim, 2006, Terapi pada Usia Lanjut (Geriatri), http://pojokapoteker.blogspot.com/2008/12/terapi-pada-usia-lanjut-geriatri.html,diakses 14 Maret 2009
Anonim, 2004, Bagi Kaum Lansia Obat tidak Selalu Menjadi Sahabat http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0804/01/index.htm.. Diakses tanggal 14 Maret 2009
Darmojo-Boedi, Martono Hadi (editor). 2006. Buku Ajar Geriatri. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran UI. Jakarta
Darmansjah, Iwan, Prof. 1994. Jurnal Ilmiah : Polifarmasi pada Usia Lanjut. Diakses tanggal 14 Maret 2009
Potter, Patricia. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses, dan Praktek/Patricia A. Potter, Anne Griffin Perry; Alih Bahasa, Yasmin Asih et al. Editor edisi Bahasa indonesia, Devi Yulianti, Monica Ester. – Ed.4. – Jakarta ; EGC, 2005

FENOMENA SEHAT SAKIT PADA LANSIA

Sehat Sakit Dan Lansia
Menurut WHO (1947) Sehat itu sendiri dapat diartikan bahwa suatu keadaan yang sempurna baik secara fisik, mental dan sosial serta tidak hanya bebas dari penyakit atau kelemahan.
Definisi WHO tentang sehat mempunyai karakteristik berikut yang dapat meningkatkan konsep sehat yang po­sitif (Edelman & Mandle. 1994):
1. Memperhatikan individu sebagai sebuah sistem yang menyeluruh.
2. Memandang sehat dengan mengidentifikasi ling­kungan internal dan eksternal.
3. Penghargaan terhadap pentingnya peran individu dalam hidup.
UU No.23,1992 tentang Kesehatan menyatakan bahwa: Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Dalam pengertian ini maka kesehatan harus dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh terdiri dari unsur-unsur fisik, mental dan sosial dan di dalamnya kesehatan jiwa merupakan bagian integral kesehatan.
Dalam pengertian yang paling luas sehat merupakan suatu keadaan yang dinamis dimana individu menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan lingkungan internal (psikologis, intelektua, spiritual dan penyakit) dan eksternal (lingkungan fisik, social, dan ekonomi) dalam mempertahankan kesehatannya.
Sakit adalah keadaan dimana fisik, emosional, intelektual, sosial, perkembangan, atau seseorang berkurang atau terganggu, bukan hanya keadaan terjadinya proses penyakit.
Usia lanjut adalah suatu kejadian yang pasti akan dialami oleh semua orang yang dikaruniai usia panjang, terjadinya tidak bisa dihindari oleh siapapun. Pada usia lanjut akan terjadi berbagai kemunduran pada organ tubuh. Walaupun demikian, lansia harus selalu optimis, ceria dan berusaha agar selalu tetap sehat di usia lanjut. Jadi walaupun usia sudah lanjut, harus tetap menjaga kesehatan. Dengan tambahnya usia seseorang, kecepatan metabolisme tubuh cenderung turun.
Fenomena Sehat Sakit Pada Lansia
Proses menua (aging) merupakan suatu perubahan progresif pada organisme yang telah mencapai kematangan intrinsik dan bersifat irreversibel serta menunjukkan adanya kemunduran sejalan dengan waktu. Proses alami yang disertai dengan adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial akan saling berinteraksi satu sama lain . Proses menua yang terjadi pada lansia secara linier dapat digambarkan melalui tiga tahap yaitu, kelemahan (impairment), keterbatasan fungsional (functional limitations), ketidakmampuan (disability), dan keterhambatan (handicap) yang akan dialami bersamaan dengan proses kemunduran
Transisi demografi pada kelompok lansia terkait dengan status kesehatan lansia yang lebih terjamin, sehingga usia harapan hidup lansia lebih tinggi dibanding masa-masa sebelumnya . Pertambahan jumlah lansia di Indonesia dalam kurun waktu tahun 1990 – 2002, tergolong tercepat di dunia . Pada tahun 2002, jumlah lansia di Indonesia berjumlah 16 juta dan diproyeksikan akan bertambah menjadi 25,5 juta pada tahun 2020 atau sebesar 11,37 % penduduk dan ini merupakan peringkat keempat dunia, dibawah Cina, India dan Amerika Serikat . Sedangkan umur harapan hidup berdasarkan sensus BPS tahun 1998 masing-masing untuk pria 63 tahun dan perempuan 67 tahun. Angka di atas berbeda dengan kajian WHO (1999), dimana usia harapan hidup orang Indonesia rata-rata adalah 59,7 tahun dan menempati urutan ke-103 dunia. Data statistik tersebut mengisyaratkan pentingnya pengembangan keperawatan gerontik di Indonesia. Walaupun secara historis, jauh sebelum keperawatan gerontik berkembang menjadi sebuah spesialisasi pada dasarnya keperawatan memiliki peran yang besar terhadap pemberian pelayanan keperawatan bagi lansia. Fokus asuhan keperawatan pada lansia ditujukan pada dua kelompok lansia, yaitu (1) lansia yang sehat dan produktif, dan (2) lansia yang memiliki kerentanan tubuh dengan ditandai kondisi fisik yang mulai melemah, sakit-sakitan, dan daya pikir menurun . Pemberian asuhan keperawatan bagi kedua kelompok tersebut bertujuan untuk memenuhi harapan-harapan yang diinginkan oleh lansia yaitu memiliki kualitas hidup yang lebih baik dan produktif dalam tiga dimensi, yaitu fisik, fungsional, dan kognitif. Berbagai penelitian melaporkan bahwa peningkatan kualitas ketiga dimensi tersebut dapat meningkatkan harapan hidup lansia yang lebih sehat (inna-ppni.or.id).
Beberapa perubahan fisik pada lansia adalah:
Sistem Kardiovaskuler: Jantung orang yang lebih tua mungkin bekerja dengan lebih keras untuk memompa jumlah darah yang sama, sehingga akibatnya mungkin timbul peningkatan tekanan darah.
Sistem visual: Dengan menjadi makin tua, makin diperlukan cahaya untuk dapat melihat lebih jelas. Membaca makin sulit, mungkin membutuhkan lensa korektif.
Kulit: elastisitas berkurang seiring bertambahnya usia.
Keseimbangan; Setelah usia 50 tahun mulai menurun.
Intelegensi: Bahwa intelegensi menurun pada lansia adalah mitos. Memang ada penurunan fungsi memori. Namun penelitian menunjukkan perbendaharaan kata lebih
Pendapat Terhadap Fenomena Sehat Sakit Dengan Pendekatan Spiritualitas Pada Lansia.
Pelayanan Keperawatan Gerontik bersifat independent (layanan tidak tergantung pada profesi lain/mandiri), interdependent, humanistik (secara manusiawi), dan holistik (secara keseluruhan)
Total care atau perawatan secara holistik merupakan kebutuhan semua pasien, bukan saja medical care, psychological care, social care, tetapi juga spiritual care.
Spiritual care berhubungan dengan teori Neuman. Neuman (1995) yang telah menggunakan teori rentang sehat-sakit (wellness-illness continuum) untuk mendefinisikan batasan sehat. Dimana, rentang sehat-sakit menempatkan kondisi kesehatan seseorang yang optimal pada titik tertentu dan kondisi sakit pada titik yang lain. Kesehatan klien disamakan dengan kemampuan klien untuk memelihara stabilitas yang optimal dan hal itu dilihat sebagai batasan normal.
Menurut Neuman (1990): ”sehat dalam suatu rentang merupakan tingkat kesejahteraan klien pada waktu tertentu , yang terdapat dalam rentang dan kondisi sejahtera yang optimal , dengan energi yang paling maksimum, sampai kondisi kematian yang menandakan habisnya energi total”
Neuman mengemukakan lima variable untuk mencapai kondisi sehat yang optimal, yaitu : (1) fisiologis, (2) psikologis, (3) perkembangan, (4) sosial budaya, dan (5) rohani (spiritualitas).
Jadi menurut model ini sehat adalah keadaan dinamis yang berubah secara terus menerus sesuai dengan adaptasi individu terhadap berbagai perubahan pada lingkungan internal dan eksternalnya untuk mempertahankan keadaan fisik, emosional, intelektual, sosial, perkembangan, dan spiritual yang sehat, sedangkan sakit merupakan proses dimana fungsi individu dalam satu atau lebih dimensi yang ada mengalami perubahan atau penurunan bila dibandingkan dengan kondisi individu sebelumnya.
Berdasarkan fenomena diatas, ditekankan pada kepercayaan akan adanya tujuan dan makna hidup, adanya perasaan bertumbuh dan berkembang sebagai manusia, adanya kemampuan untuk mengatur kehidupan dan dunia sekitarnya dengan efektif, serta adanya tekad yang menunjukkan keteguhan hati akan membawa pasien kepada tingkat kesadaran spiritual yang lebih tinggi serta mempengaruhi sikap dan perilaku kearah lebih religius, pada akhirnya akan mempengaruhi sistem dalam tubuh. Spiritualitas dapat meningkatkan spirit, meningkatkan dan mempertahankan perasaan berharga dan pentingnya dalam kehidupan dan menerima kekurangan dimasa tua.
Bukti-bukti ilmiah tentang peran pendekatan spiritual terhadap respon imun tubuh telah banyak dilaporkan oleh peneliti di luar negeri. Suatu surve yang dilakukan oleh Sumalsy (2002) dan majalah USA Weekend menyatakan bahwa lebih dari 70 pasien percaya bila Tuhan memegang peran terhadap kesembuhan, percaya bahwa dengan doa dan dzikir (menyebut nama suci Tuhan) dapat membantu mempercepat proses penyembuhan penyakit.
Koenig HG et al. (2001) menyatakan sekitar 64% pasien menghendaki agar para dokter memberikan terapi psikoreligius dalam bentuk membimbing dalam berdoa dan berdzikir. Christy (1998) dalam bukunya berjudul Prayer as Medicine mengungkapkan pengaruh kegiatan spiritual terhadap kesadaran pasien, menjadi lebih tenang, pasrah, tegar dan pada akhirnya akan meningkatkan sistem imun tubuh.
Aktivitas-aktivitas spiritualitas dan sosial akan memberikan nilai tertinggi bagi lansia untuk menemukan kebermaknaan dan rasa harga dirinya, dengan banyak berdzikir dan melaksanakan ibadah sehari-hari lansia akan menjadi lebih tenang dalam hidupnya kecemasan akan kematian bisa direduksi. Dengan aktif dalam aktivitas sosial, seperti tergabung dalam paguyuban lansia atau karang werdha akan menjadi ajang bagi mereka untuk saling bertukar pikiran, berbagi pengalaman dan saling memberikan perhatian pada lansia untuk mencapai kualitas hidup yang maksimal.
Pemenuhan kebutuhan spiritual pada lansia umumnya dengan mengisi waktu untuk beribadah. Melalui Ibadah lanjut Usia mendapat ketenangan jiwa, pencerahan dan kedamaian menghadapi hari tua. Pelayanan spiritual yang dilakukan oleh keluarga atau perawat dan petugas kesehatan lainnya adalah dengan menyediakan sarana dan peralatan ibadah.
Aspek spiritual dapat terlihat dari bagaimana seseorang menjalani kehidupannya, mencakup nilai dan keyakinan yang dilaksanakan, hubungan dengan keluarga atau teman, dan kemampuan mencari harapan dan arti dalam hidup.
Spiritual bertindak sebagai suatu tema yang terintegrasi dalam kehidupan seseorang. Spiritual seseorang akan mempengaruhi cara pandangnya terhadap kesehatan dilihat dari perspektif yang luas. Kesehatan dipandang oleh beberapa orang sebagai suatu kemampuan untuk menjalani kehidupan secara utuh. Pelaksanaan perintah agama merupakan suatu cara seseorang berlatih secara spiritual.
Spiritualitas terkait dengan agama terlihat dengan adanya beberapa agama yang melarang penggunaan bentuk tindakan pengobatan tertentu, sehingga perawat harus memahami dimensi spiritual klien sehingga mereka dapat dilibatkan secara efektif dalam pelaksanaan asuhan keperawatan.
Agama dapat memenuhi beberapa kebutuhan psikologis yang penting pada lansia dalam hal menghadapi kematian, menemukan dan mempertahankan perasaan berharga dan pentingnya dalam kehidupan, dan menerima kekurangan di masa tua. Secara sosial, komunitas agama memainkan peranan penting pada lansia, , seperti aktivitas sosial, dukungan sosial, dan kesempatan untuk menyandang peran sebagai guru atau pemimpin. Lansia dengan komitmen beragama yang sangat kuat cenderung mempunyai harga diri yang paling tinggi (Krase, 1995 dalam Papalia, 2003).
Agama dapat menambah kebutuhan psikologis yang penting pada lansia, membantu mereka menghadapi kematian, menemukan dan menjaga sense akan keberartian dan signifikansi dalam hidup, serta menerima kehilangan yang tak terelakkan dari masa tua. Secara sosial komunitas religius dapat menyediakan sejumlah fungsi untuk lansia, seperti aktivias sosial, dukungan sosial, dan kesempatan untuk mengajar dan peran kepemimpinan.
Referensi :
Artikel dari Departemen Sosial RI. (2008). Mencapai Optimum Aging pada Lansia. Dibuka pada :
http://www.depsos.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=797
Departemen Sosial RI. 1996. Kelembagaan Lanjut Usia dalam Kehidupan Bangsa. Jakarta ; Departemen Sosial RI. _____, 2003a. Pedoman Rencana Aksi untuk Kesejahteraan Lanjut Usia. Jakarta ; Departemen Sosial RI.
Elizabeth B. Hurlock, 200. , Psikologi Perkembangan , Suatu pendekatan sepanjang rentang sejarah, Edisi Kelima.
Loius Lowy, 1997, Social with the Aging, the Challange and Promise of the Later Year, New York, Philadephia, San Fransisco, Harver & Row Publisher.
Potter, Patricia. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses, dan Praktek/Patricia A. Potter, Anne Griffin Perry; Alih Bahasa, Yasmin Asih et al. Editor edisi Bahasa indonesia, Devi Yulianti, Monica Ester. – Ed.4. – Jakarta ; EGC, 2005

Sabtu, 16 Agustus 2008

TETANUS

TETANUS


  1. Definisi

Tetanus (rahang terkunci (lockjaw) adalah penyakit akut, paralitik spatik yang disebabkan oleh tetanospasmin, neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium Tetani


  1. Etiologi

Clostridium Tetani adalah obligat anaerob pembentuk spora. Gram positif, bergerak, yang tempat tinggal (habitat) alamiahnya di seluruh dunia yaitu ditanah, debu dan saluran pencernaan berbagai binatang. Spora tetanus dapat bertahan hidup dalam air mendidih tetapi tidak didalam autoklaf, tetapi sel vegetatif terbunuh oleh antibiotik, panas dan desinfektan baku. Clostridium Tetani bukan organisme yang menginvasi jaringan, malahan menyebabkan penyakit melalui pengaruh toksin tunggal, tetanospasmin yang lebih sering disebut sebagai toksin tetanus. Toksin tetanus adalah bahan kedua yang paling beracun yang diketahui, hanya diunggulikekuatannya oleh toksin botulinum, dosis letal toksin tetanus diperkirakan 10-6­ mg/kg


  1. Epidemiologi

Tetanus terjadi diseluruh dunia dan endemik pada 90 negara yang sedang berkembang, tetapi insidennya sangat bervariasi. Bentuk yang paling sering, tetanus neonatorum (umbilikus), membunuh sekurang-kurangnya 500.000 bayi setiap tahun karena ibu tidak terimunisasi. Lebih dari 70% kematian ini terjadi pada sekitar 10 negara Asia dan Afrika tropis. Lagi pula, diperkirakan 15.000 – 30.000 wanita yang tidak terimunisasi diseluruh dunia meninggal setiap tahun karena tetanus ibu yang merupakan akibat dari infeksi dengan Clostridium Tetani luka pascapartus, pascaabortus, atau pasca bedah.

Kebanyakan kasus tetanus non-neonatorum dihubungkan dengan jejas traumatis, sering luka tembus yang diakibatkan oleh benda kotor, seperti paku, serpihan, fragmen gelas, atau injeksi tidak steril, tetapi suatu kasus yang jarang mungkin tanpa riwayat trauma. Tetanus pasca injeksi atau obat terlarang menjadi lebih sering, sementara keadaan yang tidak lazim adalah gigitan binatang, abses (termasuk abses gigi), perlubangan cuping telinga, ulkus kulit kronis, luka bakar, fraktur komplikata, radang dingin (frosbite), gangren, pembedahan usus, goresan-goresan upacara, dan sirkumsisi wanita. Penyakit ini juga terjadi sesudah penggunaan benang jahit yang terkontaminasi atau sesudah injeksi intramuskuler obat-obata, paling menonjol kini untuk malaria falsiparum resisten-kloroquin.


  1. Patogenesis

Tetanus terjadi setelah pemasukan spora yang sedang tumbuh, memperbanyak diri dan menghasilkan toksin tetanus pada potensial oksidasi-reduksi rendah (Eh) tampak jelas yang terinfeksi­­­­. Plasmid membawa gena toksin, toksin dilepaskan bersama dengan sel bakteri vegetatif yang mati dan selanjutnya lisis. Toksin tetanus (dan toksin botulinum) adalah protein sederhana 150 kD yang terdiri atas rantai berat (100 kD) dan ringan (50 kD) yang digabung oleh ikatan fisulfit. Toksin tetanus melekat pada sambungan neuromuskuler dan kemudian diendoksitosis oleh saraf motoris, sesudahnya ia menglami pengangkutan akson retrograd ke sitoplasmin motoneoron-alfa. Pada syaraf stiatika kecepatan pengangkutan ternyata 3,4 mm/jam. Toksin keluar motoneuron dlam medula spinalis dan selanjutnya masuk interneuron penghambat spinal, dimana toksin ini menghalangi pelepasan neurotransmiter. Toksin tetanus dengan demikian memblokade hambatan normal otot antagonis yang merupakan dasar gerakan di sengaja yang terkoordinasi. Akibatnya, otot yang terkena mempertahankan kontraksi maksimalnya. Sistem saraf autonom juga dibuat tidak stabil pada tetanus.

Kekuatan toksin tetanus yang luar biasa adalah bersifat enzimatik. Rantai ringan toksin tetanus (dan beberapa dari toksin botulinum) adalah Zn2+ yang mengandung endoprotease yang substratnya adalah sinaptobrevin, suatu unsur pokok protein kompleks yang berkaitan yang memberi kesempatan vesikula sinaptik berfungsi dengan membran sel terminal. Rantai berat toksin mengandung daerah (dominan) pengikat.


  1. Patologi

Clostridium Tetani bukan organisme infasif dan sel vegetatif penghasil toksinnya tetap ditempat dimana ia masuk ke dalam luka, yang mungkin menampakkan atau tidak menampakan perubahan-perubahan lokal dan tercampur flora infeksius.


  1. Manifestasi Klinis

Tetanus mungkin terlokalisasi atau menyeluruh, yang terakhir ini lebih lazim. Priode inkubasi khas 2-14 hari, tetapi dapat selama berbulan-bulan sesudah jejas. Pada tetanus menyeluruh, trismus (spasme muskulus maseter atau “rahang terkunci”) merupakan gejala yang ada pada sekitar 50% kasus. Nyeri kepala,gelisah, dan iritabilitas merupakan gejala awal, sering disertai oleh kekakuan, sukar mengunyah, disfagia dan spasme otot leher.

Tetanus neonatus (tetanus neonatorum), bentuk infertil tetanus generalisata, khas nampak dalam 3-12 hari kelahiran sebagai makin sukar dalam pemberian makanan (yaitu, mengisap dan menelan), dengan disertai lapar dan menangis. Paralisis atau kehilangan gerakan, kekakuan pada sentuhan, dan spasme, dengan atau tanpa opistotonus, menandai penyakit. Sisa umbilikus dapat menahan sisa-sisa kotoran, kotoran sapi, darah beku atau serum, atau ia dapat tampak relatif benigna.

Tetanus terlokalisasi mengakibatkan spasme otot dekat tempat luka, nyeri dan dapat mendahului tetanus generalisata. Tetanus sefalika merupakan bentuk jarang tetanus terlokalisasi melibatkan muskulatur bulbar y ang terjadi akibat luka atau bend asing di kepala, lubang hidung, atau muka. Ia juga terjadi bersama dengan otitis media kronis. Tetanus sefalika ditandai oleh kelopak mata yang retraksi, penglihatan menyimpang, trismus, risus sardonikus, dan paralisis spatik otot lidah dan faring.


  1. Diagnosis dan Diagnosis Banding

Gambaran tetanus merupakan salah satu gambaran yang paling dramatis dalam kedokteran, dan diagnosis dapat dibuat secara klinis. Kelompok khas adalah penderita yang tidak terimunisasi (dan/ atau ibu) yang terjejas atau dilahirkan dalam 2 minggu sebelumnya dan yang datang dengan trismus, otot-otot kaku yang lain, dan sensorium yang tidak terganggu.


  1. Pengobatan

Manajemen tetanus memerlukan pelenyapan Clostridium Tetani dan lingkungan luka yang sesuai denganmultiplikasi anaerobnya, neutralisasi semua toksin tetanus yang dapat di capai, mengendalikan kejang-kejang dan pernafasan, meringankan dan menyediakan perawatan pendukung yang sangat cermat, dan akhirnya, pencegahan kumat.

Pengirisan luka bedah dan debridemen sering dipelukan untuk membuang benda asing atau jaringan yang mati yang menciptakan pertumbuhan anaerob. Pembedahan harus dilakukan segera, setelah pemberian globuli imun tetanus (GIT) manusia dan antibiotik. Eksisi sisa umbilikus pada tetanus neonatorum tidak lagi di anjurkan.


  1. Komplikasi

Kejang-kejang dan paralisis tetanus kaku bertahan berat memberi kecenderungan penderita terhadap banyak komplikasi. Aspirasi sekresi dan psneumonia dapat mulai sebelum pemariksaan medik pertama diterima. Mempertahankan terbukanya jalan nafas sering mengharuskan intubasi endotrakea dan ventilasi mekanik dengn resiko yang menyertainya, termasuk pneumothoraks dan emfisema mediastinum. Kejang-kejang dapat menyebabkan luka robekmulut dan lidah. Pada hematoma intramusculer atau rhabdomiolisis dengan mioglobinuria dan gagal ginjal, atau pada tulang panjang atau fraktur spinalis. Trombosis venosa, emboli pulmonal, ulserasi lambung dengan atau tanpa perdarahan,ileus paralitikus, dan ulserasi dekubitus merupakan bahaya terus menerus. Penggunaan relaksan terus-menerus, suatu bagian menyeluruh perawatan, dapat menghasilkan apnea iatrogenik. Aritmia jantung termasuk asistole, tekanan darah yang tidak stabil, dan pengaturan suhu yang tidak stabil menggambarkan pengendalian sistem syaraf autonom terganggu yang dapat di perburuk oleh kurang perhatian terhadap rumatan kebutuhan volume intravaskuler.


  1. Prognosis

Penyembuhan tetanus terjadi melalui regenerasi sinapsis dalam medula spinalis dan dengan demikian pengembalian relaksasi otot. Namun, karena episode tetanus tidak berakibat produksi antibodi penetralisasi toksin, imunisasi aktif dengan tetanus toksoid pada pemulangan dengan pemberian penyempurnaan seri pertamanya adalah suatu keharusan.

Faktor yang mempengaruhi hasil akhir yang paling penting adalah kualitas perawatan pendukung. Mortalitas paling tinggi pada anak yang amat muda dan pada orang yang amat tua. Prognosis yang paling baik dihubungkan dengan masa inkubasi yang lama, tanpa demam dan dengan penyakit terlokalisasi. Prognosis yang tiddak baik dihubungkan dengan antara jejas dan mulainya trismus seminggu atau kurang dan dengantiga hari atau kurang antara trismus dan spasme tetanus menyeluruh. Sekuele jelas otak hipoksik, terutama pada bayi, adalah serebral palsi, kemampuan mental yang menurun dan kesukaran perilaku. Kebanyakan kematiant terjadi dalam seminggu sakit. Angka kematian kasus yang dilaporkan untuk tetanusmenyeluruh berkisar antara 5% dan 35% dan untuk tetanus neonatorum meluas dari <10%>75% tanpa perawatan tersebut tetanus sefalik terutama mempunyai prognosis jelek karena kesukaran pernafasan dan pemberian makanan.

  1. Pencegahan

Tetanus adalah penyakit yang sepenuhnya dapat dicegah, kadar antibodi serum ≥0,01 U/mL dianggap protektif. Imunisasi aktif harus dimulai pada awal masa bayi dengan Vaksin gabungan tosoid difteri-toksoid tetanus-pertusis (DPT) pada usia 2, 4, dan 6 bulan, dengan booster [ada usia 4-6 tahun dan pada interval 10 tahun sesudahnya sampai dewasa dengan toksoid tetanus difteri (Td). Imunisasi wanita dengan toksoid tetanus mencegah tetanus neonatorum, dosis tunggal toksoid yang berisi 250 Lf unit mungkin aman diberikan pada trimester ketiga kehamilan dan memberi cukup antibodi transplasenta untuk melindungi anak atau sekurang-kurangnya 4 bulan. Untuk orang-orang umur 7 tahun atau lebih yang belum diimunisasi, seri imunisasi primer terdiri dari tiga dosis toksoid Td yang diberikan secara intramuskuler, yang kedua 4-6 minggu sesudah yang pertama dan yang ketiga 6-12 bulan sesudah yang kedua.

Cara-cara pencegahan tetanus pasca trauma terdiri dari menginduksi imunitas aktif terhadap toksin tetanus dan secara pasif memberi anti bodi antitoksin.



Referensi

Behrman, Kliegman, Arvin.1996. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : EGC.

Rabu, 13 Agustus 2008

Aku Mengenal Diriku

Yazid ibnul Muhallab pergi dalam suatu perjalanan dengan ditemani anaknya,Muawiyah. Mereka lalu dijamu oleh seorang wanita Badui yang menyembelih kambing untuk keperluanjamuan itu.Seusai makan, Yazid bertanya pada kepada anaknya," Berapa uang yang kamu pegang?". Muawiyah menjawab," Seratus dinar.". Yazid berkata,"Berikan semuanya pada wanita itu." Muawiyah menjawab,"diakan wanita yang fakir, tentu mau menerima sedikit. Lagi pula dia tidak mengenal kedudukan ayah." Yazid lalu menjawab," kalau dia rela menerima sedikit, maka aku rela memberi banyak, dan kalau dia tidak mengenal aku, maka aku mengenal diriku."

Wanita Ada Tiga Macam

Umar ibnul Khattab r.a. berkata," Wanita ada tiga macam. Pertama, muslimah, mukminah, bertaqwa, ramah tamah, lemah lembut, membantu keluarga mengatasi beban dan kesulitan serta tidak pernah menyebabkan kesulitan baru. Tetapi yang demikian jarang terdapat. kedua, wadah untuk melahirkan saja dan tidak lebih dari itu. ketiga, belenggu diletakkan Allah untuk menjerat leher siapa yang Allah kehendaki.

Penguasa Yang Lemah

Seorang wanita tua menghadap Sultan Sulaiman al-Qanuni untuk mengadu bahwa tentara sultan mencuri ternak dombany ketika dia sedang tidur. Setelah mendengar pengaduan itu, Sultan Sulaiman berkata kepada wanita itu,"Seharusnya kamu menjaga ternakmu dan jangan tidur." Mendengar perkataan itu wanit itu menjawab," Saya mengira baginda menjaga dan malindungi kami sehingga aku tidur dengan aman."

Jumat, 23 Mei 2008

Jenis-Jenis Penyakit Hati (Hepar)

Jenis-Jenis Penyakit Hati (Hepar)

Hati (liver) merupakan organ terbesar dalam tubuh manusia. Di dalam hati terjadi proses-proses penting bagi kehidupan kita, yaitu proses penyimpanan energi, pembentukan protein dan asam empedu, pengaturan metabolisme kolesterol, dan penetralan racun/obat yang masuk dalam tubuh kita. Sehingga dapat kita bayangkan akibat yang akan timbul apabila terjadi kerusakan pada hati.

Beberapa Penyakit Hati antara lain :

  • Penyakit hati karena infeksi (misalnya hepatitis virus) Yaitu ditularkan melalui makanan & minuman yang terkontaminasi, suntikan, tato, tusukan jarum yang terkontaminasi, kegiatan seksual, dll.

  • Penyakit hati karena racun (misalnya karena alkohol atau obat tertentu)
    Alkohol bersifat toksik terhadap hati. Adanya penimbunan obat dalam hati (seperti acetaminophen) maupun gangguan pada metabolisme obat dapat menyebabkan penyakit pada hati.

  • Genetik atau keturunan (misalnya hemochromatosis)

  • Gangguan Imun (misalnya hepatitis autoimun) Penyakit autoimun merupakan penyakit yang ditimbulkan karena adanya perlawanan terhadap jaringan tubuh sendiri. Pada hepatitis autoimun umumnya yang dilawan adalah sel-sel hati, sehingga terjadi peradangan yang kronis.

  • Kanker (misalnya Hepatocellular Carcinoma) Kanker hati dapat disebabkan oleh senyawa karsinogenik diantaranya aflatoxin, polyvinyl chloride (bahan pembuatan plastik), virus, dll. Aflatoxin merupakan racun yang diproduksi oleh Aspergillus flavus dan dapat mengkontamisani makanan selama penyimpanan, seperti kacang-kacangan, padi & singkong terutama pada daerah tropis. Hepatitis B dan C maupun sirosis hati dapat berkembang menjadi kanker hati.

Bentuk perhatian pada HATI dapat kita lakukan dengan menghindari hal-hal yang dapat menimbulkan penyakit hati

Beberapa penyakit hati yang umum terjadi dan pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi :

HEPATITIS
Hepatitis adalah peradangan pada sel-sel hati. Virus merupakan penyebab hepatitis yang paling sering, terutama virus hepatitis A, B, C, D dan E. Pada umumnya penderita hepatitis A & E dapat sembuh, sebaliknya hepatitis B & C dapat menjadi kronis. Virus hepatitis D hanya dapat menyerang penderita yang telah terinfeksi virus hepatitis B dan dapat memperparah keadaan penderita.

Pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk memastikan diagnosis hepatitis karena penderita hepatitis sering tidak bergejala atau gejala tidak khas.

Pemeriksaan untuk hepatitis akut :

  • Enzim GOT, GPT

  • Penanda hepatitis A (Anti HAV IgM)

  • Penanda hepatitis B (HBsAg, Anti HBc IgM)

  • Penanda hepatitis C (Anti HCV, HCV RNA)

  • Penanda hepatitis E (Anti HEV IgM)

Pemeriksaan untuk hepatitis kronis :

  • Enzim GOT, GPT

  • Penanda hepatitis B (HBsAg, HBe, Anti HBc, Anti HBe, HBV DNA)

  • Penanda hepatitis C (Anti HCV, HCV RNA)

Penanda imunitas :

  • Anti HAV

  • Anti HBsAg

SIROSIS HATI

Sirosis hati adalah keadaan penyakit yang sudah lanjut dimana fungsi hati sudah sangat terganggu akibat banyaknya jaringan ikat di dalam hati. Sirosis hati dapat terjadi karena virus Hepatitis B dan C yang berkelanjutan, karena alkohol, salah gizi, atau karena penyakit lain yang menyebabkan sumbatan saluran empedu. Sirosis tidak dapat disembuhkan, pengobatan dilakukan untuk mengobati komplikasi yang terjadi (seperti muntah dan berak darah, asites/perut membesar, mata kuning serta koma hepatikum).

Pemeriksaan untuk mendeteksi sirosis hati : Enzim GOT, GPT (rasio GOT/GPT > 1), Waktu Protrombin, Protein Elektroforesis

KANKER HATI

Kanker hati terjadi apabila sel kanker berkembang pada jaringan hati. Kanker hati yang banyak terjadi adalah Hepatocellular carcinoma (HCC). HCC merupakan komplikasi akhir yang serius dari hepatitis kronis, terutama sirosis yang terjadi karena virus hepatitis B, C dan hemochromatosis.

Pemeriksaan untuk mendeteksi kanker hati : AFP, PIVKA II

PERLEMAKAN HATI

Perlemakan hati terjadi bila penimbunan lemak melebihi 5 % dari berat hati atau mengenai lebih dari separuh jaringan sel hati. Perlemakan hati ini sering berpotensi menjadi penyebab kerusakan hati dan sirosis hati. Kelainan ini dapat timbul karena mengkonsumsi alkohol berlebih disebut ASH (Alcoholic Steatohepatitis), maupun bukan karena alkohol disebut NASH (Nonalcoholic Steatohepatitis).

Pemeriksaan pada perlemakan hati : Enzim GOT, GPT, Fosfatase Alkali

KOLESTASIS DAN JAUNDICE

Kolestasis merupakan keadaan akibat kegagalan memproduksi dan /atau pengeluaran empedu. Lamanya menderita kolestasis dapat menyebabkan gagalnya penyerapan lemak dan vitamin A, D, E, K oleh usus, juga adanya penumpukan asam empedu, bilirubin dan kolesterol di hati.

Adanya kelebihan bilirubin dalam sirkulasi darah dan penumpukan pigmen empedu pada kulit, membran mukosa dan bola mata disebut jaundice. Pada keadaan ini kulit penderita terlihat kuning, warna urin menjadi lebih gelap, sedangkan faeces lebih terang.

Pemeriksaan untuk kolestasis dan jaundice : Fosfatase Alkali, Gamma GT, Bilirubin Total, Bilirubin Direk

HEMOCHROMATOSIS
Hemochromatosis merupakan kelainan metabolisme besi yang ditandai dengan adanya pengendapan besi secara berlebihan di dalam jaringan. Penyakit ini bersifat genetik/keturunan.

Pemeriksaan laboratorium untuk hemochromatosis : Transferin, Ferritin

TIPS bagi Penderita Penyakit Hati

- Diet seimbang. Jumlah kalori yang dibutuhkan disesuaikan dengan tinggi badan, berat badan, dan aktivitas. Pada keadaan tertentu diperlukan diet rendah protein

- Banyak makan sayur dan buah serta melakukan aktivitas sesuai kemampuan untuk
mencegah sembelit

- Menjalankan pola hidup yang teratur

- Konsultasi dengan dokter Anda

TIPS Mencegah Hepatitis

  1. Senantiasa menjaga kebersihan diri dan lingkungan

  2. Menghindari penularan melalui makanan & minuman yang terkontaminasi, suntikan, tato, tusukan jarum yang terkontaminasi, kegiatan seksual, dll.

  3. Bila perlu menggunakan jarum yang disposable/sekali pakai

  4. Pemeriksaan darah donor tehadap hepatitis virus

  5. Program vaksinasi hepatitis B